Bhinneka
Kamis, 24 November 2016
Kebebasan Beragama Dalam Konteks Bhineka Tunggal Ika
Kebebasan beragama adalah kebebasan hak azasi manusia yang sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupaan sehari-hari. Namun hendaklah dipahami dengan sungguh-sungguh bahwa pemahaman agama, dan aqidah serta pelaksanaannya, harus memperhatikan hukum, norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.
Interaksi antar masyarakat yang demikian majemuk dalam pergaulan global ini sangat rentan terhadap attitude setiap pribadi dalam penghayatan agamanya. Karena itu timbulnya kesalahpahaman dan pergeseran nilai yang berakibat pada keresahan sosial di masyarakat sedapat mungkin harus dicegah sejak dari awal. Kegiatan dengan tema “Kebebasan Beragama Dalam Konteks Bhineka Tunggal Ika” ini diharapkan dapat menghasilkan tambahan keluasan wawasan dan rumusan-rumusan, yang semakin memahamkan kita tentang apa dan bagaimana menjalankan kehidupan bersama yang lebih kokoh, dan bersatu dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik dan lebih bermartabat.
Sumbangan tulisan ini adalah sebuah tambahan pemahaman, dengan harapan yang sangat besar semoga kehidupan bermasyarakat, dan dengan sendirinya juga kehidupan negara, ke depan ini akan menjadi lebih baik dan bermartabat. Dan juga semoga tidak akan terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan keresahan sosial, yang biasanya disebabkan karena ketidaktahuan atau salah paham dalam berkeyakinan.
Dari segala kemajemukan masyarakat, agama dan kepercayaan, dan perbedaan paham atas ajaran agama itu, telah lahir keragaman aliran pemikiran dan ekpresi ke-agamaan, yang pada tingkat tertentu dapat memicu konflik. Dari berbagai ragam perbedaan itu, Negara Indonesia diharapkan selalu tetap kokoh, kuat dan bersatu. Karena, dalam kondisi semacam ini, dunia dan masyarakat Indonesia khususnya dihadapkan pada permasalahan kehidupan yang makin membutuhkan ketenteraman dan kesejahteraan dalam menghadapi segala problem kehidupan.
Pluralisme
Secara historis, lahirnya gagasan pluralisme dilatarbelakangi oleh persoalan keragam-an teologi agama. Satu sama lain mengklaim sebagai “satu-satunya jalan keselamatan”, atau yang paling benar di masyarakat. Dari ini lahirlah kelompok fundamentalisme, radikalisme, moderatisme hingga liberalime, yang kemudian menjelma menjadi gerakan sosial. Dalam ranah teologi, paling tidak ada 3 sikap umat beragama, yakni:
- Sikap Eksklusif. Sikap ini adalah yang paling dominan selama ini. Merasa dirinya, atau golongannya, yang paling benar
- Sikap Inklusif. Paradigma ini tidak merasa bahwa dirinya adalah yang paling benar.
- Sikap Paralel. Paradigma ini berpendapat bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.
Pluralisme timbul sebagai akibat perkembangan kebebasan, atau situasi liberal, dari sikap inklusif. Gagasan pluralisme agama merupakan salah satu perspektif dalam melihat hakekat agama. Selain karena adanya penetrasi dari peradaban barat modern, lahirnya gagasan pluralisme juga sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan sosial yang disebabkan agama.
Kebebasan Beragama dan HAM
Bagaimanakah kebebasan beragama dan HAM adalah hal yang sangat perlu untuk mendapatkan jawaban bagi upaya untuk menuju ketenteraman dan keamanan bersama, menuju upaya kesejahteraan bersama. Berikut ini adalah prinsip-prinsip kebebasan beragama:
- Prinsip Dasar. Perlunya definisi atas apa yang dimaksud agama.
- Prinsip Hak Azasi Beragama
- Memahami kebebasan perlunya untuk memeluk agama
- Memahami kebebasan untuk tidak beragama
- Memahami kebebasan untuk berpindah agama
- Memahami kebebasan untuk mengajarkan agama
- Memahami bahwa sejak lahir, hak azasinya sebagai manusia harus dihormati
- Memahami kebebasan untuk menikah berlainan agama
- Kebebasan untuk membentuk aliran paham agama.
- Prinsip Kewajiban Bernegara
- Pemerintah, atau Aparat Negara, berkewajiban mempunyai dasar dalam bertindak untuk menjaga semua pemeluk agama, dan juga bagi yang tidak beragama
- Aparat Negara tidak mencampuri substansi ajaran agama, atau aqidah agama
- Aparat Negara berkewajiban membatasi ekspresi atau manifestasi dari seseorang atau kelompok agama, apabila diluar norma-norma masyarakat
- Aparat Negara tidak berhak membuat keputusan hukum yang menyatakan bahwa aliran agama adalah sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum dan tata susila
- Aparat Negara berkewajiban untuk membina dan meningkatkan ketertiban masyarakat dalam pelaksanaan praktek-praktek agama.
Bhineka Tunggal Ika
Secara singkat Bhineka Tunggal Ika berarti adalah persatuan, atau tepatnya meskipun berbeda-beda, namun hakekatnya adalah satu. Bisa berarti satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, seperti apa yang diungkap dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Bisa juga berarti integrasi dari penjabaran Kelima Sila Pancasila itu sendiri.
Menurut apa yang saya ketahui, Bhineka Tunggal Ika diikuti oleh kata-kata Tan Hanna Dharma Mangrua, yang kurang lebih artinya “Tak Ada Dharma Yang Mendua”, atau juga berarti “Tak Ada Pengabdian Kecuali Kepada Tuhan Yang Tunggal”. Kata-kata itu jelas memperkuat makna atau arti dari Bhineka Tunggal Ika.
Ada juga yang berpendapat bahwa asal itu semua adalah Keyakinan Hindu yang secara lengkap berbunyi “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrua, Shiva Maha Dewa”. Demikianlah asal dan arti atau makna mengenai Bhineka Tunggal Ika yang sekarang menjadi “Pegangan Tempat Berpijak Sang Garuda” dalam simbol Negara Republik Indonesia.
Kata-kata Bhineka Tunggal Ika telah bersenyawa dengan masyarakat Indonesia dan terpilih sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia.
Kebebasan menurut Qur’an dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika
Menurut Qur’an Suci, manusia amatlah tinggi martabatnya, dipandang dari kedu-dukan manusia di alam semesta dan peranan yang sewajarnya dilakukannya. Umat manusia dipercaya melakukan tugas yang tak dapat dipikul oleh makhluk lain yang manapun juga, yaitu kerjasama dan berlomba-lomba melanjutkan perjalanan evolusi dari fase psikis menuju ke fase spiritual. Secara singkat, tugas tersebut dapat dirumuskan sebagai keharusan mengubah keadaan jiwanya sendiri agar tumbuh, berkembang dan lambat-laun menjadi sempurna, dengan jalan menunaikan kewajiban terhadap Allah, dirinya sendiri, dan sesamanya (QS 5:93; 13:20-22). Agar manusia dapat melaksanakan tugas kewajiban ini, maka ia dianugerahi kemungkinan jasmani, mental, dan rohani yang berpadanan satu sama lain (31:20; 75:4; 64:3). Ia diciptakan sebagai sebaik-baik makhluk (95:4; 15:26-29), yang tak dibebani sesuatu yang tak melebihi kemampuannya (2:286, 233; 6:153; 7:42; 23:62; 22:78; 2:185), dan tak mempunyai apa-apa selain apa yang ia usahakan (53:39-41).
Keunggulan atau kelebihan manusia dari makhluk yang lain terletak pada aktualisasi kemungkinan-kemungkinan dan kuasa-kuasa jasmani, mental, dan rohaninya. Ini tang-gung jawab yang dibebankan Allah di atas bahu manusia untuk dijalankan dengan se-ngaja dan sadar akan tujuannya. Seperti yang akan dibicarakan lebih lanjut, pada manusia terdapat indra-indra, kemungkinan-kemungkinan mental dan sosial, otak yang kaya dan rumit, sehingga dia memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dan menguasai lingkungan yang selalu berubah. Namun dia tidak bergantung dengan itu semua, karena dia dianugerahkan kemampuan yang lebih dari itu. Misalnya dia diberi jari-jari tangan (75:4) yang melambangkan kemampuan penyesuaian diri dan sifat lenturnya dibanding-kan dengan anggota tubuh lainnya.
Selain itu, dia pun diberikan kesanggupan berbicara (55:4), menggunakan bahasa (15:26, 28; 30:22), membaca dan menulis (96:1- 5), yang semuanya menggunakan lambang-lambang, sehingga dapatlah dia memperoleh kemampuan pragmatis tentang alam dan menguasai tenaga-tenaga yang ada di alam sebagai khalifah. Manusia dapat mengembangkan dan mempraktikkan ilmu (teknologi, industri) untuk kepentingan umat manusia dan menyebarkan serta mewariskan kepada keturunannya. Dengan demikian jelaslah bahwa jenis, sifat, aktivitas, dan pengaruh manusia kepada lingkungannya, pada dasarnya jauh berbeda dengan binatang.
Kelebihan manusia dari binatang itu lebih nyata lagi, karena diciptakan dengan kemauan bebas dan dalam batas-batas tertentu dapat berbuat sesuka hatinya. Dia dianugerahi kekuasaan mengambil keputusan dan berbuat menurut pertimbangannya sendiri. Dia dianugerahi kebebasan memilih (freedom of choice). Jika kekuasaan itu digunakan dengan baik, maka dia akan mencapai kedudukan yang tinggi. Tetapi sebaliknya, jika kekuasaan itu salah dipergunakan, maka tak boleh tidak manusia harus merasakan akibat pahit dari perbuatannya itu (95:4-6)
Kenyataan bahwa dia dikaruniai kekuasaan memilih, jelas mengandung arti dia tidak dipaksa menaati hukum Ilahi, dia merdeka berbuat kebaikan dan merdeka pula berbuat kejahatan. Orang yang dipaksa dan tidak boleh memilih, tentu saja tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.
Demikian pula halnya dalam agama. Jika sekiranya manusia itu diciptakan tanpa nafsu natiqah atau nafsu tamyis (daya membedakan baik dengan buruk, dan kesanggupan timbang-menimbang), maka seluruh umat manusia pasti memeluk agama Islam. Tetapi karena mereka dikarunai daya-daya yang memungkinkan mereka memilih dengan merdeka itu, maka mereka tidak boleh dipaksa (2:256; 10:99; 50:45; 25:54; 18:29; 17:107; 76:3; 73:19; 74:54,55; 76:29).
Manusia diberi kebebasan menempuh cara dan jurusan hidup yang disukainya. Dia leluasa mempertumbuhkan jiwanya dengan serampangan, hidup asal hidup saja, tanpa pedoman tertentu yang memenuhi syarat-syarat objektif, tanpa mengetahui sebenarnya apa tujuan hidupnya dan apa seharusnya diperbuat di dunia ini. Tetapi kebebasan itu tidak akan dinikmatinya tanpa ikatan yang tetap dalam upaya mencari kepuasan dan kesenangan hidup, ataupun dengan cara memuaskan nafsu biologisnya.
Manusia boleh pula mencoba mengatur dengan sesuka hatinya kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya dari pandangan seorang filsuf, dari teori atau sistem ikatan-ikatan yang diciptakan oleh seorang ahli, tetapi pada akhirnya akan mengalami kegagalan hidup. Kekurangan dan cacat dari masing-masing sistem akan nyata jua dalam praktik dari buahnya, dan sewaktu-waktu perlu diperbaiki dan diselaraskan dengan keadaan yang sebenarnya. Jika suatu sistem ternyata tidak memuaskan dan lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada manfaatnya, maka sistem itu akan ditinggalkan dan diganti oleh ahli lainnya yang lebih progresif dalam menciptakan teori atau sistem yang baru.
Jalan lain ialah menerima kebenaran tentang perlu adanya suatu Kekuasaan Yang bertindak sebagai penunjuk jalan,Yang menolong, dan memimpinnya dalam mempergunakan kemerdekaan rohaninya. Setelah itu, dia harus mengusahakan dirinya untuk menaati Pimpinan itu, seperti halnya semua ciptaan Ilahi yang lain. Dia harus taat kepada hukum-aturan yang menyebabkannya tumbuh, berkembang, dan mencapai tujuan di-ciptakannya
Martabat dan kodrat manusia, dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, terlihat dalam seruan agar umat manusia bersilaturahmi, “Semua mahluk adalah keluarga Allah, maka orang yang paling dicintai Allah ialah orang yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya” (HR Baihaqi). Amalannya antara lain sebagai berikut:
- Ta’aruf, saling kenal mengenal
- Menyatakan kecintaan (mahabbah)
- Salam dan jabat tangan
- Saling memberi hadiah
- Bersikap menggembirakan, terbuka dan ramah
- Saling mengutamakan
- Menyampaikan ucapan selamat (tahniah)
- Menyempatkan saling berkunjung
- Memberikan haqnya kepada saudaranya sesama muslim, antara lain memenuhi undangan, menjenguk apabila sakit, mengucapkan doa bila ada yang bersin, dsb-nya
- Melaksanakan kewajiban muslim yang baik yakni infaq, zakat dan sedeqah.
Tujuan persaudaraan umat manusia adalah mewujudkan satu bentuk persaudaraan yang bernilai fitrah (suci dan sakral), sehingga tercipta persaudaraan yang baik, damai, yang diridhoi Allah Swt. Karena itu, “karakter” silaturahmi hendaknya adalah
- Mampu untuk memberikan semangat tinggi dalam berkorban
- Tidak pasif atau minta-minta
- Bersikap aktif dan kritis
- Memelihara kesucian persaudaraan
- Nilai persaudaraan berdasar pada ketaatan pada Allah Swt (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Kebebasan seorang muslim adalah kebebasan yang bermartabat, tetap dalam bingkai Pancasila, khususnya saling membina persatuan antar manusia, dan dengan sendirinya memperkuat persatuan bangsa, memperkokoh Bhineka Tunggal Ika, atau kebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara, di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keesaan Umat Manusia
Menurut Quran Suci, pria maupun wanita diciptakan dari satu nafs atau satu zat (min nafsin wahidah), atau dapat pula dikatakan dari jenis yang sama (6:99; 16:72; 31:28). Umat manusia merupakan satu keesaan (4:1; 7:189; 10:19). Semuanya seakan-akan anggota dari satu keluarga (49:13), yang tinggal di bumi yang sama sebagai hamparan tempat melepaskan lelah, dan di bawah langit yang sama pula sebagai atap (2:22).
Persaudaraan manusia yang dilukiskan dalam Qur’an Suci memiliki landasan yang amat luas. Yang dituju dalam dua ayat di atas yang tersebut belakangan, bukanlah kaum mukmin saja seperti yang diuraikan dalam tiga ayat sebelumnya, melainkan manusia seumumnya, yang mereka itu seakan-akan satu, yang terbagi menjadi bangsa, kabilah dan keluarga. Janganlah sekali-kali merenggangkan hubungan antar mereka, melainkan dikenalkan satu sama lain. Keunggulan seseorang di atas orang lain dalam persaudaraan besar ini bukanlah bergantung kepada kebangsaan, kekayaan ataupun derajat, melainkan tergantung dari ketaqwaan atau ketinggian akhlaknya.
Konsekuensi yang langsung dari Keesaan Umat Manusia ialah Hukum tentang Wahyu Ilahi yang sifatnya universal dan berlaku sama bagi wanita dengan pria dalam lapangan akhlak dan rohani. Setiap sifat baik yang dapat dicapai seorang pria, maka dapat dicapai juga oleh seorang wanita. Sebagaimana seorang pria mempunyai hak-hak terhadap istrinya, begitu pula seorang wanita mempunyai hak-hak terhadap suaminya (2:228; 33:35). Hubungan seorang suami dengan istri, dan sebaliknya, dilambangkan Qur’an Suci sebagai pakaian dengan pakaian, yang dapat melindungi dan menyenangkan satu sama lain, dan dapat pula merupakan perhiasan bagi mereka (2:187). Dan pakaian yang terbaik adalah libasut-taqwa (pakaian yang melindungi dari kejahatan), dan pakaian ini adalah pakaian yang terbaik, yang merupakan perhiasan bagi jiwa, dan itulah yang mendatangkan ketentraman batin, atau sakinah (7:26). Dan dengan taqwa, kaum Muslimin diperintahkan supaya memperlakukan semua orang dengan ramah dan kelembutan hati, sekaligus mengingatkan bahwa manusia adalah satu umat.
Tetapi, Keesaan Umat Manusia, yang seharusnya menciptakan persaudaraan umat manusia, ternyata pada dewasa ini banyak yang dalam keadaan retak-retak, dan bahkan dalam masyarakat Islam sendiri, di sebagian dunia ada yang masih dalam kondisi pecah-belah. Apakah hal ini oleh karena banyak pemimpin yang belum mampu memahami Islam dengan pemahaman Quran yang utuh?
Semoga para pemimpin yang mempunyai jabatan strategis, segera mampu memahami, bahwa manusia adalah umat satu, sehingga dalam segala kebijakan kepemimpin-annya, insya Allah tidak akan menciptakan kegoncangan-kegoncangan yang hebat dalam masyarakat.
Negara bagai sebuah bangunan
Islam dapat diibaratkan sebuah bangunan atau rumah yang terdiri atas dasar, atau fondasi, kemudian berikutnya adalah tiang, atap, dinding dan peralatan-peralatan lain yang diperlukan. Bangunan Islam dasarnya adalah Kalimah Syahadat, tiangnya adalah shalat, atapnya adalah puasa, dinding diibaratkan zakat dan peralatan lain adalah haji. Apa-apa yang diutarakan tsb adalah yang disebutkan dengan nama Rukun Islam.
Bagaimanakah dengan negara? Dalam membangun sebuah bangunan tentu ada niat, dan diikuti dengan kegiatan lain-lainnya. Niat the founders bangsa tertuang dalam Sumpah Pemuda, kemudian dicetuskan dalam Proklamasi Kemerdekaan. Kemudian para pemimpin bangsa bersepakat untuk membentuk bangunan negara secara gotong royong yang mempunyai dasar negara yakni Pancasila, dan dibentuklah pilar-pilar guna menegakkan negara yakni UUD 1945. Mengenai atap, dinding dan juga peralatan yang diperlukan dalam sebuah bangunan negara, ditetapkan kemudian, bergantung dari bangunan-bangunan pilar yang telah disepakati.
Berkaitan dengan hal tersebut apabila ajaran Islam ditinjau lebih dalam, ternyata Islam adalah ajaran yang di antara bimbingan-bimbingannya adalah sbb: Niat untuk bergerak adalah Kalimah Syahadat, kemudian dicetuskan dalam ucapan basmalah, dan kemudian dasar untuk bergerak dalam membuat bangunan, dan juga dalam segala hal adalah Al-Fatihah atau Ummul Kitab, sedang pilar-pilar utamanya adalah Shalat.
Pancasila dan Al-Fatihah
Beruntung bahwa Indonesia mempunyai Pancasila yang merupakan dasar falsafah negara yang sangat dika-gumi oleh bangsa-bangsa lain. Pancasila menjadi dasar falsafah tidaklah terjadi secara kebetulan. Hal ini terjadi berkat kodrat dan iradat Ilahi Rabbi. Mengapa demikian? Karena terbukti bahwa ternyata ada keselarasan antara Pancasila dengan Ummul kitab, Al-Fatihah.
Al-Fatihah, Menurut Rasulullah saw., pengertiannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni antara Tuhan sendiri dan hamba-hamba-Nya. Antara keduanya berhubungan erat, kata berjawab, gayung bersambut.
Allah memperkenalkan diri:Alhamdulillaah (Uluhiyat)Rabbil ‘Aalamiin (Rububiyat)Ar-Rahmaan (Rahmaniyat)Ar-Rahiim (Rahimiyat)Maaliki Yaumid-diin (Malikiyat)
Manusia datang bersembah sujud:Iyyaaka na’budu (Ibadat)Waiyyaaka nasta’iin (Isti’anat)Ihdinash-shiraathal-mustaqiim (Hidayat)Shiraathalladziina an ‘amta ‘alaihim (In’amat)Ghairil-maghdluubi ‘alaihim waladl-dlaalliin (Salahiyat)
Lalu perhatikan keselarasan kandungan antara Al-Fatihah dan Pancasila berikut ini:
Uluhiyat — Ibadat — Sila ke-1 : Ketuhanan Yang Maha EsaRububiyat — Isti’anat — Sila ke-2 : Kemanusiaan yang adil dan beradabRahmaniyat — Hidayat — Sila ke-3 : Persatuan IndonesiaRahimiyat — In’amat — Sila ke-4 : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilanMalikiyat — Salahiyat — Sila ke-5 : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Bangsa-bangsa lain, biasanya dasar falsafah mereka adalah seputar Liberty, Fraternity, Egalitee, atau Justice, Democracy, Liberty dlsb-nya. Indonesia justru telah mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara yang pertama. Atau dengan perkataan lain, Dialah yang kita akui, yang telah menciptakan Liberty, Democracy, Justice dan lain sebagainya itu.
Penduduk Indonesia yang mayoritasnya muslim apakah lupa Al-Fatihah dan Pancasila? Siapapun pasti sangat heran, apa sebabnya bangsa Indonesia yang mempunyai dasar negara yang terindah di dunia ini, namun dalam pencapaian rasa aman dan ke-sejahteraan nampaknya tertinggal dengan bangsa lain.
Kemungkinan besar, sadar atau tidak sadar, kita telah meremehkan, atau tergelincir dalam memahami Pancasila, sehingga kita lupa atau khilaf, tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila dalam kehidupan sehari-hari adalah:
Iman — Ketuhanan Yang Maha EsaJujur — Kemanusiaan yang adil dan beradabBenar — Persatuan IndonesiaAdil — Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilanSabar — Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Berkenaan dengan pemahaman Pancasila yang begitu indah dan begitu luhur sebagai Dasar Negara, dan dapat dengan mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari, mari kita bangun, bangkit serta tak henti-hentinya untuk kerja keras dan kerja cerdas guna menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang. Dimulai dari sekarang ini, di bulan puasa ini, dengan niat suci, membersihkan diri sendiri, tanpa pamrih, dengan sabar dan dengan satunya kata dan perbuatan, membangun Negara kita: Satu utuh ceria berkarya!
Wong Utomo
Di kalangan masyarakat Jawa dikenal istilah Wong Gede, Wong Cilik, dan Wong Utomo. Wong gede adalah orang kaya, orang berpangkat dan orang yang berilmu, sedangkan wong cilik adalah orang yang tidak mempunyai salah satu dari ketiga hal tersebut. Sementara, wong utomo adalah orang yang rendah hati, teguh dan kokoh imannya, dan selalu berusaha mengikuti jejak-jejak orang tulus sehingga dirinya mem-peroleh nikmat Allah karena ridho-Nya.
Dalam Islam, merujuk pada QS 4:69, yang dimaksud wong utomo atau orang utama adalah orang-orang yang diberi kenikmatan. Ada empat golongan manusia yang disebutkan dalam ayat tersebut, yakni para nabi, shiddiqîn, syuhadâ’, serta shâlihîn. Para Nabi adalah mereka yang diberi keutamaan berupa amanat untuk menyampaikan risalah Allah. Para shiddiqin adalah orang yang selalu suka kepada kebenaran, dan dalam istilah agama berarti orang yang benar ucapan dan imannya, yang membuktikan kebenaran itu dengan perbuatan dan tindakan. Para syuhada adalah mereka yang menjadi saksi atas benarnya agama Allah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Mencakup pula orang yang mati dalam membela agama Islam, karena ia telah membuktikan benarnya agama dengan mengorbankan jiwanya. Kemudian para shalihin adalah mereka yang tetap setia pada jalan yang benar, tak peduli apapun yang akan terjadi.
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa wong utomo adalah orang yang mem-punyai sifat jujur, tulus, setia dan luhur budi pekertinya. Sebagaimana Nabi Muhammad saw., yang sedari remaja dikenal sangat jujur, sehingga masyarakat memberi gelar al-amin kepadanya atas kejujurannya itu.
Kenikmatan yang diberikan kepada para nabi, yang antara lain berupa wahyu Ilahi, juga dapat diberikan kepada orang yang tulus, yang mampu mengikuti jalan Allah dengan benar, yakni menaati Quran dan Sunnah Nabi dengan baik dan tanpa cacat. Namun sangat perlu sekali untuk dipahami bahwa Kenabian dan Wahyu adalah dua hal yang berlainan. Menurut penjelasan Qur’an, kenikmatan yang berupa wahyu, diberikan pula kepada orang-orang yang bukan nabi; misalnya, kepada ibu Nabi Musa (20:38), murid-murid Nabi ‘Isa (5:111), dan bahkan juga kepada lebah (16: 68).
Quran Suci menggunakan kata wahyu dalam arti yang sangat luas, secara teologis mencakup wahyu matluw, wahyu ghairu matluw, wahyu khafiy, dll. Dan ada rumusan teologis bahwa wahyu hanya untuk nabi sedang ilham untuk manusia biasa. Jadi konsekwensi logis adalah bahwa wahyu walayat dan mujaddidiyat itu lebih tepat disebut ilham, bukan wahyu.
Doa permohonan untuk memperoleh nikmat dan kemudian menjadi pemimpin rohani itulah yang ditunjukkan dalam surat Al-Fatihah agar diikuti oleh orang Islam. Tujuan utama hidup orang Islam bukanlah hanya menyempurnakan rohani sendiri saja, melainkan berusaha pula untuk menyempurnakan rohani orang lain, kalau perlu juga dengan mempertaruhkan jiwanya. Jadi, orang Islam harus memohon pula kenikmatan Allah yang dianugerahkan kepada orang tulus dalam membasmi kejahatan dan juga dalam menegakkan kebaikan di dunia.
Orang yang taat kepada Allah dan Utusan, adalah wong utomo, yang mempunyai keteguhan hati dan kokoh imannya. Mereka akan menyertai orang-orang yang sempurna seperti disebut di atas. Mereka tak dapat mencapai derajat kesempurnaan nikmat seperti empat golongan manusia sempurna itu, namun mereka akan menyertai keempat golongan itu dan akan berkumpul dengan mereka di Akhirat. Diriwayatkan dalam suatu Hadits bahwa Nabi Suci bersabda: “Orang tulus dan pedagang yang jujur akan menyertai para Nabi, Shiddiqin, dan Syuhada” (Tr. 12:4).
Ini bukanlah berarti bahwa pedagang yang jujur akan menjadi nabi, melainkan mereka akan menyertai para nabi. Menurut Hadits lain, Nabi Suci ditanya tentang orang yang mencintai suatu kaum, tetapi ia bukan dari golongan mereka, beliau menjawab bahwa “orang itu menyertai orang yang dicintainya” (M.45:50). Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa sahabat Anas berkata: “Aku mencintai Rasulullah dan aku mencintai Abu Bakar dan ‘Umar dan aku memohon agar Allah mengumpulkan aku dengan mereka, sekalipun aku tak dapat melakukan perbuatan yang telah mereka lakukan” (M. 45:50).
Karena itu, bagaimanapun juga orang tak akan menjadi nabi karena taat kepada Nabi Suci. Jika ini terjadi, maka bukan saja kaum syuhada dan shalihin yang akan menjadi nabi, karena mereka taat kepada Allah dan Utusan-Nya, melainkan pula semua orang yang berusaha untuk mengikuti mereka, akan dinaikkan derajatnya menjadi Nabi.
Jadi QS 4:69 tersebut menjanjikan kepada semua orang, baik wong gede, wong cilik dan siapapun yang tak mencapai derajat kesempurnaan, bahwa jika mereka mau ber-usaha sekuat-kuatnya untuk mentaati Allah dan Utusan-Nya, mereka akan berkumpul dengan orang-orang sempurna, yang mendapat nikmat Allah Swt.
Wong Cilik
Wong cilik adalah mereka yang tak berilmu, tidak kaya dan juga tidak punya pangkat. Pekerjaan dan penghasilan mereka tidak tetap, kebanyakan sebagai buruh tani, buruh nelayan, atau mengikuti perintah wong gedhe. Terdapat petuah Orang Jawa seperti berikut, “Yen bondo ilang, bisa diganti. Yen awak loro bisa diobati, Lha yen jeneng ilang, kabeh-kabehe ilang.” (Harta hilang bisa diganti. Badan sakit bisa diobati. Tapi kalau karakter yang hilang, maka semuanya akan hilang). Karena itu, untuk meningkatkan derajatnya, maka wong cilik harus melakukan antara lain hal berikut:
- Berkelakuan baik. Kelakuan baik adalah modal utama wong cilik. Dengan kelakuan baik akan banyak kawan, termasuk berkawan dengan wong gedhe. Mendekati orang baik akan memperoleh pula kebaikannya.
- Pemahaman taqdir. Sebenarnya masalah taqdir ini juga berlaku bagi wong gedhe, akan tetapi masalah baru jelas bila hal itu diterapkan bagi wong cilik. Sebab bagi wong cilik, taqdir itu berarti kondisi atau nasib yang kerap berarti menyedihkan, dan ini berarti pembebasan. Bagi wong gedhe, taqdir itu otomatis sudah berupa anugerah. Bagi wong cilik penolakan taqdir berarti menentang Tuhan. “Dene beja cilaka utawa luhur asor luhur pan wus pasthi ana ing badanireku, aja sok naugring mring Gustinira Sang Katong. Tulisanira lokhilmakful kang rumuhun, pepancene kang wus pasthi tan kena owah sarambut, tulise badanireki aja na mundur sapakon.”
- Narimo. Ungkapan ini tidak berarti pasif, atau tanpa usaha. Namun ada juga yang terkesan pasif, yakni dengan istilah ’narimo ing pandum’, yang sering diartikan dengan sikap malas dan tak mau usaha. Apapun yang ada diterima saja sebagai takdir. Dan akibatnya, apabila pemahaman mengenai takdir tidak tepat, kemudian biasanya akan timbul ungkapan, takdirku dadi maling, piye maneh? dan sebagainya.
- Paham Kekuasaan. Rakyat yang baik ialah yang menerima dengan ikhlas kenyataan bahwa Tuhan memerintah melalui Raja, dan karena itu tunduk adalah sikap yang paling baik. “Nora kena yen den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya prie nggonira sumingkir, yen tan nglakoni pasthi tan rahayu”. Dengan demikian menentang kekuasaan, atau menentang ketaatan pada raja itu berarti kesengsaraan buat hidupnya sendiri.
Dengan memahami kondisi diri dan menjiwai arti dari kata taqdir dan narimo dengan tepat, diharapkan terjadi perubahan attitude. Yang sebelumnya mungkin negatif, atau tak berenergi, insya Allah diri pribadi akan mampu berubah, menjadi pribadi yang mempunyai power of action. Mempunyai motivasi merubah diri, dan justru bukan dirinya berarti malas dan tak mau usaha, akan tetapi dirinya terpacu dan akan berupaya menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Perubahan attitude yang diharapkan antara lain sebagai berikut:
- Diri sendiri tidak risau akan sarana-sarana penghidupan (6:38). Sikap ini penting agar hidup tidak dipenuhi perasaan cemas, khawatir, gundah, dan gelisah yang menempatkan hidup kita selalu dalam tekanan. Tak hanya itu, ketenangan itu sendiri juga penting demi kesuksesan kita meraih sarana-sarana penghidupan. Diri sendiri harus bangkit dan mengenal Kasih Sayang Allah Swt.
- Tidak bergantung pada siapapun, kecuali kepada Allah Swt (112:1-4). Kebergantungan pada perbuatan atau daya upaya acap kali berbuntut keputusasaan dan frustrasi pada saat kendala dan kegagalan ditemui. Dengan bergantung kepada Allah, kita bisa terhindar dari keputusasaan yang mencelakakan. Bersandar kepada-Nya membuat kita selalu bangkit dan selamat dari perasaan terpuruk. Tujuan perjuangan hanya untuk Allah semata-mata. Segala hasil usaha, yang timbul dari daya cipta dan daya pimpin seseorang tidak akan menyebabkan takabur. Hasil apapun yang diusahakan disadarinya adalah atas izin Allah Swt, dan disyukurinya dengan sikap yang kemudian akan menimbulkan masyarakat yang guyub rukun.
- Ridha pada kenyataan (41:30). Kekecewaan, kekesalan, dan ketidakpuasan pada kejadian-kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi kita yang sebetulnya bisa kita gunakan untuk sesuatu yang positif. Dengan ridha pada kenyataan, segetir apa pun itu, kita akan selalu siap menghadapinya dan meresponsnya secara wajar dan berguna. Tidak akan putus asa dan patah harapan. Menyadari bahwa hidup hanya sementara (mung mampir ngombe).
- Timbulnya harapan atau optimisme hidup (29:64). Dengan bersandar kepada Allah dan percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita diharapkan akan mampu melipat gandakan rasa optimis kita, terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata orang. Dengan tak pernah lalai bahwa Allah Maha Menolong dan Maha Kuasa, dengan tak pernah kehilangan rasa butuh kepada-Nya, kita menjadi terbebas dari penjara keterbatasan, dan hati akan tetap merasa lapang sekalipun kita dikepung oleh berbagai ketidakmungkinan, serasa menjadi pemenang dalam hidup selamanya. Keadaan yang nampaknya tak mungkin terjadi, dengan izin Allah Swt, keadaan dapat berubah
Wong Gedhe
Wong gedhe yang dimaksud adalah mereka yang mempunyai kedudukan istimewa di kalangan masyarakat umum atau setidak-tidaknya menurut pandangan umum. Baik kedudukan atas dasar keturunan atau atas dasar prestasinya. Biasanya mereka adalah orang kaya, orang berilmu atau berpangkat. Bagi mereka, maka sikap yang seharusnya dilakukan antara lain sebagai berikut:
- Ojo adigang, adigung, adiguna atau ojo dumeh (4: 36). Ajaran ini sebenarnya tidak khusus untuk wong gedhe saja, namun ajaran itu tentu tidak mudah dilepaskan dari orang-orang yang mempunyai kedudukan istimewa. Adigang diibaratkan seperti kijang yang sok berani. Adigung diibaratkan seperti gajah yang sok luhur. Adiguna diibaratkan seperti ular yang sok pintar.
- Jauhi hal buruk. Wong gedhe sudah barang tentu juga harus bergaul dengan wong cilik, karena wong cilik juga banyak yang berkelakuan baik, dan wong gedhe pun tidak selalu berbuat baik. Bahkan kalau wong cilik yang berbuat baik, haruslah didekati. “Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih carita, yeku pantes raketana, darapen mundhak kang budhi.”Di samping itu, untuk menjadi wong gedhe yang baik, dituntut harus bersih sikap batinnya. Kekotoran batin akan memudarkan kuasa ilahi yang ada pada dirinya. Untuk membina semua itu, perlu dipenuhi syarat-syarat dan latihan-latihan badaniah, misalnya kurangi makan, kurangi tidur, dan sebagainya. Dalam budaya Jawa ada puasa-puasa khusus, misalnya mutih, ngrowot dan ada laku-laku yang menurut keyakinannya adalah untuk tujuan-tujuan tertentu. Namun dalam Islam diutamakan laku-laku untuk latihan badaniah sebaiknya dilakukan dengan petunjuk, atau sunnah nabi yang dilakukan oleh nabi-nabi. Berikut ada sebuah riwayat:“Sahabat Ibnu ‘Umar berkata, bahwa Nabi Suci telah diberitahu tentang keputusanku untuk berpuasa pada siang hari dan tetap jaga pada malam hari selama aku hidup. Pada waktu aku ditanya, aku mengaku bahwa aku berkata begitu. Nabi Suci bersabda: Engkau tak akan kuat menjalankan itu; oleh sebab itu berpuasalah, lalu tak berpuasa, dan berjagalah, lalu tidur, dan kerjakanlah puasa sunnat tiga kali sebulan, karena perkara baik itu diganjar lipat sepuluh, dengan demikian ini akan sama seperti engkau berpuasa setiap hari. Aku berkata bahwa aku dapat mengerjakan lebih dari itu. Nabi Suci bersabda: Jika demikian, puasalah sehari, lalu dua hari tak puasa. Aku berkata bahwa aku dapat mengerjakan lebih dari itu. Nabi bersabda, jika demikian, puasalah sehari lalu tak berpuasa sehari, dan demikian itulah puasa Nabi Dawud, dan inilah puasa sunnat yang terbaik. Aku berkata bahwa aku dapat mengerjakan lebih dari itu, Nabi Suci bersabda: Tak ada yang lebih baik lagi dari itu” (Bu. 30:56).Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianjurkan oleh Nabi Suci ialah puasa sunnat tiga hari setiap bulan, dan puasa Nabi Daud as, tetapi janganlah sekali-kali berpuasa sunnat terus-menerus.Ada beberapa Hadits lain yang menerangkan bahwa Nabi Suci menganjurkan secara khusus supaya berpuasa sunnat pada hari-hari terakhir bulan, atau berpuasa sunnat pada ayyamul-bid’i yaitu pada tiap tanggal 13, 14 dan 15 bulan qamariah, atau pada hari Senin dan Kamis, atau pada hari ‘Arafah, yaitu sehari sebelum ‘Idul-Adha, atau enam hari pada permulaan bulan syawal.
- Sebagai wakil Allah (Khalifatullah). Ratu atau Raja, berkaitan dengan paham kekuasaan Jawa diibaratkan sebagai penjelmaan Tuhan. Karena itu setiap orang harus tunduk padanya. Tidak boleh rakyat menyangsikan keadilan pemerintahannya. “Dhasar Ratu abener prentahe, kaya priyenggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu”. Dan raja sendiri dituntut harus adil, tidak berat sebelah. Pemerintah yang kurang adil berarti merosotnya kuasa Ilahi yang ada pada dirinya. Wong gedhe, atau pemimpin harus berani menindak yang berbuat salah, meskipun saudaranya sendiri, namun juga harus memberi pujian atau penghargaan kepada yang berbuat baik atas kerjasama dan prestasinya. (Perhatikan QS 5:42).
- Menyembah Allah. Meskipun dirinya adalah wakil Allah, namun yang sangat penting bahwa dia sendiri harus menyembah kepada Allah, menyembah Allah Swt adalah disebut sembah lima. Keempat sembah lainnya adalah kepada orang tua, saudara tua, mertua dan guru. Penyembahan diluar Tuhan, yakni kepada harta, atau kekuasaan dan lain-lainnya tidak dibenarkan. Penyembahan ini erat hubungannya dengan paham “etika sangkan paran”, atau paham mengenai etika asal usul dan tujuan manusia. “Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman banget paes nang ndonya, siyang dalu dipun emut wong urip manggih antaka”. Orang yang silau akan harta bisa menjadi lupa akan asal dan tujuan hidupnya.
Penutup
Demikianlah telah diutarakan sedikit tulisan mengenai Kebebasan beragama dalam Konteks Bhineka Tunggal Ika. Dengan selalu menambah wawasan dan mampu memetik ilmu-ilmu dan hikmah-hikmah yang sangat banyak di alam semesta ini, semoga rasa damai dan ketenteraman masyarakat makin bertambah dan persatuan bangsa makin kuat dan kokoh, amiin.
Langganan:
Postingan (Atom)